Sabtu, Maret 14, 2009

cerpen ; buah karya gue

B I N T A N G J A T U H
Tulus Silas
Jakarta, Kompas – Seorang pria ditemukan tewas secara mengenaskan di sebuah hotel di kawasan Sudirman. Diduga bahwa pria itu mengalami overdosis setelah mengkonsumsi heroin. Saat ini tim forensik sedang mencari penyebab lain yang menjadi sebab kematiannya.
“Hore, akhirnya aku masuk SMA, tinggal satu langkah lagi untuk bisa lulus ! “, kata-kata itu terucap dari mulutku kira-kira dua setengah tahun lalu. Ya, masa-masa indah SMA-ku akan berakhir dalam kurang dari enam bulan lagi. Tidak terasa. Kehidupan SMA berjalan begitu cepat. Semua momen indah terjadi di sana. Dari menjadi ranking 1 dan sampai ditolak tiga cewek sudah aku lalui. Berbagai suka duka dan gejolak terjadi. Kulalui masa kelas satuku dengan baik bersama teman-teman baru dan guru-guru baru. Kulanjutkan tahun keduaku dengan memilih program IPA demi cita-citaku menjadi seseorang yang sukses. Naif, dulu aku beranggapan bahwa hanya orang-orang IPA saja yang akan sukses. Dan tahun ketiga sudah kulalui kurang lebih enam bulan. Belajar setiap hari sudah menjadi santapan agar aku bisa menggapai cita-citaku.
Sungguh besar pengorbananku saat tahun kedua di sekolah. Nilai menjadi masalah terbesar saat itu. Hampir saja aku tidak naik kelas karena terlalu asik bermain dan begitu meremehkan pelajaran. Bahkan, tidak hanya sahabat-sahabatku yang mengolok-olok diriku dan menjadikan diriku sebagai bahan lelucon, tetapi orang tua pun ikut mencaci-maki akibat nilai-nilaiku. Yah, memang begini kehidupanku saat tahun kedua. Diolok-olok, dicaci-maki, dan kalau ada perlu saja teman-teman baru datang kepadaku. Sombong, sok eksis, banyak bicara, bahkan kalimat-kalimat negatif lainnya sudah menjadi santapan harian.
“Las, entar kuliah mau masuk mana”, kata-kata itu membangunkan aku dari khayalanku. “Wah, kurang tahu deh, paling-paling ITB. Yah, syukur-syukur bisa keluar negeri. Amin !”. “Amin juga deh, Las. Doain aku juga. Besok, aku ada tes masuk ke UI (Universitas Indonesia).” “Iya, sukses ya, Sayang !”, kataku kepada seorang wanita di sebelahku saat istirahat kedua. Seorang cewek yang sudah kusuka dari kelas dua, dan sampai sekarang aku menjalin hubungan dengannya. Berawal dari pertemuan di kelas dua, aku langsung jatuh cinta dengannya. Ditolak, pasti pernah, namun memang sifatku yang pantang menyerah membuatku tak bisa pindah ke lain hati. Dan kira-kira satu tahun dari pertemuan pertama kami, aku beranikan untuk sekali lagi bilang ‘would you be my lady’ dan akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Kekasih pertamaku di masa SMA. Ia juga menjadi seorang pendamping yang sangat baik. Ranking satu di semester pertama mungkin juga karena semangat-semangat darinya. Dan perbincangan tadi pun berlanjut terus hingga bel istirahat memutuskan perbincangan kami. Dan besoknya, seharian aku menemani pacarku di UI. Mendukung dia saat tes, menemani dia saat istirahat, dan mengajak jalan seusai tes.
Satu bulan berlalu sejak pacarku tes di UI, dan hasilnya pun keluar. Ia diterima di UI fakultas kedokteran dengan nilai memuaskan. Kami rayakan keberhasilannya dengan seharian jalan di sebuah mall di pusat kota Jakarta. “Wah, cewek gue udah diterima, tinggal gue yang belum dapat kuliah ! “ pikirku. Aku pun cukup cuek dengan kuliah karena aku pun bingung dengan pilihanku sendiri. Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut sebuah program dari ITB bagi siswa berprestasi. Awalnya, aku dicemooh. “Huuuu, sok pinter lu, Las. Mana keterima lu disana!”. Aku pun menjawab, “Lihat saja nanti, kalau keterima, mau gue apain lu pada?”. Yah, aku cukup percaya diri karena nilai-nilaiku bagus di sekolah. Dan akhirnya, aku pun ikut tes masuk ITB. Sulit, karena malam sebelumnya aku malah chatting dengan teman-temanku. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu aku lalui tanpa jawaban dari ITB. Dan hari terakhir aku mendapat secarik surat dari ITB. Kubuka perlahan-lahan dan kubaca dengan seksama. Air mataku keluar seketika saat aku selesai membaca surat. “Maaf, Anda tidak diterima karena hasil tes yang Anda lakukan.” Begitu akhir isi surat itu. Aku gagal. Aku teriak sekuat-kuatnya, menangis, dan ingin menyendiri. Kucemooh diriku ini, kucaci, bahkan aku sampai tidak mau makan karena hasil itu. Besoknya pun aku tidak datang ke sekolah karena aku malu dengan hasil tesku itu. Aku ga bisa membayangkan bagaimana nanti aku dicemooh di sekolah. Tapi, untung saja ada ada sahabat-sahabatku dan kekasihku yang mampu membangkitkan semangatku kembali, dan akhirnya aku pun masuk kembali ke sekolah. Aku sudah benar-benar putus asa saat itu.
Satu minggu kemudian dari kejadian itu, aku mencoba surfing di dunia maya, berharap aka nada beasiswa bagi siswa Indonesia, dan aku temukan. ‘Harvard University’ membuka beasiswa. Sebuah universitas terkenal di Amerika yang menghasilkan orang-orang seperti Obama, George Bush, dan John F. Kennedy. Aku apply saja dengan cara mengirimkan data-data pribadiku. Ternyata, aku bisa mengikuti tes beasiswa itu di Indonesia. “Wah, ada harapan nih !”. Aku tidak mau membuang kesempatan ini. Aku belajar, belajar, dan belajar. Kusampingkan game-game¬ komputerku dan semua komikku. Tiap hari pun aku berdoa agar bisa dalam tes beasiswa. Dan akhirnya, aku ikut tes tersebut. Seusai aku mengerjakan, aku diberitahu bahwa hasilnya akan keluar tiga hari lagi. Aku mutih dari hari pertama sampai hari kedua. Mutih adalah sebuah ritual dengan cara makan dan minum yang hanya bewarna putih. Banyak orang bilang kalau mutih, nanti akan terkabul semua yang kita inginkan. “Kamu tuh bodoh atau apa sih, percaya sama begituan?”, bahkan pacarku sendiri mengatakan itu. Yah, di saat mendesak dan genting, orang yang biasa tak percaya takhayul bisa menjadi percaya.
Akhirnya hari ketiga sejak tes itu pun datang. Sepulang aku dari sekolah, kudapati handphoneku berbunyi. Pacarku. “Kenapa nelpon ? Sudah kangen ?” aku sempatkan bercanda dengan dia agar keteganganku berkurang sedikit “Siapa bilang kangen ? Ih kamu geeran.” Jawabnya membela diri. “Iya, iya terserah kamu deh. Tumben baru pulang sekolah saja sudah nelpon.” Jawabku. “Aku tuh perhatian sama kamu. Aku nelpon mau nanya kamu tentang hasil tes itu. Gimana? Sukses, kan?” tanyanya. “Haha, makasih deh sudah perhatian. Hmm, belum ada surat yang datang, tuh. Nanti kalau sudah datang aku telpon kamu, deh.” Jawabku dengan tenang Tinn…tinn…tinn, suara klakson mobil bergaung dari depan rumahku. “Sebentar, ya. Ada yang datang tuh ! “ kubiarkan handphoneku di kamar dan pergi keluar melihat sebuah mobil bertuliskan ‘TIKI’. Ternyata ada kiriman paket untukku. Kubaca siapa pengirimnya. ‘Harvard University, USA’. Kaget diriku saat membaca alamat pengirimnya. Lalu aku kembali ke kamar dan mengambil handphoneku “Masih ada orang ga ?” tanyaku. “Masih donk. Siapa tadi yang datang ?” tanyanya penasaran. “Paket kiriman. Dari Amerika, hehe !” aku tertawa perlahan. “Hah, apa hasilnya, Las ?” tanyanya dengan antusias. “ Ada visa dan greencard. Dua minggu lagi aku berangkat ke Amerika buat belajar di sana.” jawabku. Sungguh bahagia hatiku saat itu. Tak bisa kugambarkan betapa senangnya aku saat itu. Aku tak bisa membayangkan aku bisa pergi ke Amerika untuk belajar di universitas nomor satu di dunia. Aku yang gagal dan putus asa saat gagal tes di ITB bisa diterima di Harvard University.
Dua minggu kemudian, aku berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Saat berjalan di sana, aku mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. Kekasihku. Kuhampiri dia dan memeluknya. Kulihat matanya, penuh dengan air mata. Kutepis air matanya, berbagai kata kuucapkan untuk menenangkannya. Ia tampak tak rela melepas kepergianku. Lalu kupegang dagunya dan kukatakan bahwa aku pasti kembali. Dan setelah itu, aku menciumnya. Dia terdiam dan melepas pelukanku. Akhirnya ia tenang dan aku pun berangkat ke Amerika.
Tiga tahun aku tinggal di Amerika dan aku akhirnya lulus dari ‘Harvard University’. Aku lulus dengan predikat sangat memuaskan. Sungguh momen yang berharga saat seorang rektor dari universitas itu mengangkat togaku. Aku, seorang yang sombong, malas, dan apapun kata teman-temanku, lulus dari universitas tempat para pemimpin dunia menempuh ilmu. Aku pun pulang ke Indonesia dan bertemu keluargaku, sahabatku, dan kekasihku. Tangis dan tawa hadir di pertemuan itu. Mungkin karena aku tidak pulang dari Amerika sejak aku berangkat ke Amerika tiga tahun lalu. Kangen. Tiga tahun berkomunikasi dengan menggunakan telepon seluler tidak cukup untuk mengobati rasa kangen saat di Amerika. Kekasihku pun sedang menempuh gelar kedokterannya saat aku pulang sehingga aku pun ikut membantunya. Dan aku pun berpikir bahwa aku ingin bekerja. Aku merasa ingin membantu keluargaku dan mencari uang dengan jerih payahku. Kucari-cari lowongan pekerjaan dari koran dan internet. Sulit untuk mencari pekerjaan, tetapi gelar lulusan dari Universitas Harvard memudahkanku mencari pekerjaan. Kudapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan minyak internasional terkemuka di Indonesia. Memang awalnya gajiku biasa saja, namun bulan berganti bulan aku pun mendapatkan banyak uang karena perusahaanku membayar dengan dollar. Aku menunjukkan keseriusan dalam bekerja dan hasilnya tidaklah nihil. Aku diangkat menjadi wakil direksi di perusahaan itu. Hatiku benar-benar meluap bahagia dengan kenaikan jabatan itu.
Tapi satu tahun kemudian, hal-hal indah itu berbalik menjadi sebuah penderitaan. Suatu hari aku dipanggil oleh ketua direksi. Awalnya aku berharap aka nada kenaikan gaji lagi, tetapi nihil. Sebaliknya, ketua direksi menyatakan bahwa perusahaan tempat aku bekerja harus ditutup oleh pemerintah. Itu membuat aku kehilangan pekerjaanku. Kesedihan meliputi diriku. Untungnya, aku masih ada tabungan yang sangat cukup untuk hidupku selanjutnya. Saat itu juga tiba-tiba kekasihku menelpon, “Las, maaf nih, aku sudah ga tahan dengan keadaan kita. Aku sibuk kuliah, kamu sibuk kerja. Jadi kita…..”. Teleponnya kuputus. Aku tahu apa yang akan ia ucapkan. Saat aku di-PHK, pacarku minta putus. Tak ada lagi orang yang bisa menyemangati diriku. Aku bingung. Aku putus asa. Aku depresi. Hidup bagai tak ada artinya. Hampir saja kuambil pisau di dapur tetapi kuurungkan niatku untuk hidup. Namun, tak usai juga penderitaanku. Uangku habis. Aku terjerat dengan minuman keras dan judi. Tak ada orang di sisiku yang mengangkat moralku. Orang tua sudah pindah ke kampung halaman di Medan. Kekasih tak ada disampingku. Sahabat-sahabatku juga sibuk dengan dirinya sendiri. Aku hanya bisa bersahabat dengan bandar judi dan minuman keras. Di pergaulan seperti aku, aku juga mulai mengenal narkoba. Heroin, putaw, bahkan ganja pernah kucoba. Itu semua kudapat dari orang-orang di pergaulanku. Aku bahkan membeli satu kilogram heroin untuk disimpan di apartemenku. Tiba-tiba aku mendapat telepon dari Medan. Papa telah dipanggil ke Sorga. Air mata menetes dan aku menangis sekuat tenaga. Bagiku, Papa adalah orang yang paling berarti di hidupku. Semua isi kehidupanku diisi sosok Papaku yang begitu aku cintai. Aku khilaf. Lalu aku ambil heroinku dan kupakai semua heroin itu untuk mengobati rasa sedihku.